Minggu, 17 Februari 2013

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI ‎INDONESIA



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pendidikan
1.      Pengertian Pendidikan
         Menurut “Redja Mudyahardjo” secara luas, pendidikan adalah hidup. Pendikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Sedangkan secara sempit, pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang dilaksanakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
2.      Ruang Lingkup Pendidikan
-          Pendidik (Guru)
-          Peserta didik (Murid)
-          Tujuan dan prioritas
-          Manajemen atau pengelolaan
-          Struktur dan jadwal waktu
-          Isi dan bahab pengajaran
-          Alat pendidikan/alat bantu belajar
-          Faslitas
-          Teknologi
-          Pengawasan mutu
-          Penelitian
-          Biaya
3.      Tujuan Pendidikan
            Tujuan Pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelah  mengalami proses pendidikan baik tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dari alam sekitarnya dimana individu itu hidup.
            Tujuan Pendidikan Indonesia adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, dalam arti berkembangnya potensi-potensi individu secara harmonis, berimbang, dan terintegrasi.
B.      Permasalahan Pendidikan di Indonesia
              Memasuki   abad ke- 21  dunia  pendidikan di  Indonesia    menjadi  heboh.  Kehebohan  
tersebut  bukan   disebabkan   oleh  kehebatan   mutu   pendidikan  nasional  tetapi  lebih  banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikandi Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
            Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globslisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan Negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan Negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karana itu, kiata seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.
Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan  adalah masalah Sekularisme,efektifitas, dan efisiensi pengajaran.
1.      Sekularisme sebagai pradigma pendidikan
             Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi,”Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriamn dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi muliah, sehat, berilmu, cakap serta menjadi warga negara yang demokrstis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
            Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti "iman" dan anti "taqwa". Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu Secara  kelembagaan,  sekularisasi  pendidikan  tampak pada  pendidikan  agama).           



melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.

2.      Efektifitas pendidikan di Indonesia
            Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
           Efektifias atau Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain  dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

           Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
           Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia  ternyata hanya  delapan  sekolah  saja yang  mendapat   pengakuan  dunia   dalam  kategori  The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

3.      Efisiensi Pengajaran di Indonesia
           Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
           Beberapa masalah efisiensi pengajaran di Indonesia antara lain sebagai berikut:
-          Rendahnya kualitas sarana fisik
           Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
           Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
-          Rendahnya kualitas Guru
           Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,   melakukan    pelatihan,   melakukan     penelitian   dan   melakukan pengabdian masyarakat.
          Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

-          Rendahnya kesejahteraan Guru
          Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitaspendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya .

-          Rendahnya prestasi siswa
           Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

-          Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
          Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data  Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka  Partisipasi  Murni  Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
-          Rendahnya relevensi pendidikan dengan kebutuhan
          Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini memasuki dunia kerja.
-          Mahalnya biaya pendidikan
         Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.






BAB III
PENUTUP

                    Permasalahan-permasalahn pendidikan yang sedang di hadapi negara kita ini, sekarang menjadi permasa;ahan yang sangat serius, banyaknya anak-anak yang tidak bisa sekolah padahal mereka itu memepunyai hak untuk belajar, sebagai mana yang dicanangkan pemerintah “ Wajib belajar 9 tahun” tapi pada kenyataanya semua ini hanya menjadi silabus sedangkan realitas yang terjadi sangat memeprihatinkan.
               Di Indonesia ini memang sudah dilaksanakan yang namanya pembebasan biaya untuk pendidikan terutama tingkat SD, tetapi yang menjadi kendala adalah pembebasan biaya itu hanya untuk biaya sekolah sedangkan untuk keperluan pakaian, buku tulis, alat-alat belajar dan sebagainya. Inilah yang menjadi hambatan banyaknya anak yang putus sekolah, walaupun biaya sekolah gretis tetapi masih banyak kebutuhan lainnya, yang demikian itu membutuhkan biaya. Apalgi jika ada guru yang menambah jam pelajaran di luar jam formal misalnya: les, kursus-kursus, pelatihan-pelatihan dan sebagainya.
                Permasalahan pendidikan di negara kita ini sudah menjadi PR bagi pemerintahan saat ini bgaimana caranya untuk memeperbaiki kondisi pendidikan kita sekarang, dalam beberapa penelitian-penelitan yang dilakukan oleh para ahli pendidikan, Indonesia merupakan negara yang memiliki kualitas pendidikan yang masih jauh dari standar sebua pendidikan.