BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
1. Pengertian
Pendidikan
Menurut “Redja Mudyahardjo” secara
luas, pendidikan adalah hidup. Pendikan adalah segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Sedangkan secara
sempit, pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang
dilaksanakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
2. Ruang
Lingkup Pendidikan
-
Pendidik (Guru)
-
Peserta didik (Murid)
-
Tujuan dan prioritas
-
Manajemen atau pengelolaan
-
Struktur dan jadwal waktu
-
Isi dan bahab pengajaran
-
Alat pendidikan/alat bantu belajar
-
Faslitas
-
Teknologi
-
Pengawasan mutu
-
Penelitian
-
Biaya
3. Tujuan
Pendidikan
Tujuan Pendidikan adalah perubahan
yang diharapkan pada subyek didik setelah
mengalami proses pendidikan baik tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dari alam sekitarnya dimana individu itu
hidup.
Tujuan Pendidikan Indonesia adalah
untuk membentuk manusia seutuhnya, dalam arti berkembangnya potensi-potensi
individu secara harmonis, berimbang, dan terintegrasi.
B. Permasalahan
Pendidikan di Indonesia
Memasuki abad
ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikandi Indonesia.
Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah
memasuki abad ke- 21 gelombang globslisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia
tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru,
dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan Negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya
ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun
informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan Negara
lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karana itu, kiata seharusnya
dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing
dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.
Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di
Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab
rendahnya mutu pendidikan adalah masalah
Sekularisme,efektifitas, dan efisiensi pengajaran.
1. Sekularisme sebagai pradigma pendidikan
Jarang ada orang
mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang
sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi,”Pendidikan nasional bertujuan
membentuk manusia yang beriamn dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak dan berbudi muliah, sehat, berilmu, cakap serta menjadi warga negara
yang demokrstis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan
tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu
tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti "iman" dan anti
"taqwa". Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur
kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi
masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti
sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan
sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa
(sebagai perilaku individu Secara kelembagaan,
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama).
melalui
madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama;
sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan
serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek)
dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses
pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar
sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan
dari seluruh aspek kehidupan.
2.
Efektifitas pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah
suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifias
atau Kualitas pendidikan di Indonesia
sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat
Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di
antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and
Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah
itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya
tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).
3.
Efisiensi Pengajaran di Indonesia
Efisien adalah bagaimana
menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’.
Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk
memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu
jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang
mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih standar hasil yang
telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi
pengajaran di Indonesia antara lain sebagai berikut:
-
Rendahnya
kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik
misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang
Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang
menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
-
Rendahnya kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia
bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan
mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang
layak mengajar hanya21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta),
serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
-
Rendahnya kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitaspendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya .
-
Rendahnya prestasi siswa
Dengan keadaan
yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44
negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
-
Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam
usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
tersebut.
-
Rendahnya relevensi pendidikan dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat
dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi
oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,
sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi
untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut
data Balitbang Depdiknas1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah
dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah
ketenagakerjaan tersendiri. Adanya disebabkan kurikulum yang materinya kurang
funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini memasuki
dunia kerja.
-
Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu
itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
BAB
III
PENUTUP
Permasalahan-permasalahn
pendidikan yang sedang di hadapi negara kita ini, sekarang menjadi permasa;ahan
yang sangat serius, banyaknya anak-anak yang tidak bisa sekolah padahal mereka
itu memepunyai hak untuk belajar, sebagai mana yang dicanangkan pemerintah “
Wajib belajar 9 tahun” tapi pada kenyataanya semua ini hanya menjadi silabus
sedangkan realitas yang terjadi sangat memeprihatinkan.
Di Indonesia ini memang sudah
dilaksanakan yang namanya pembebasan biaya untuk pendidikan terutama tingkat
SD, tetapi yang menjadi kendala adalah pembebasan biaya itu hanya untuk biaya
sekolah sedangkan untuk keperluan pakaian, buku tulis, alat-alat belajar dan
sebagainya. Inilah yang menjadi hambatan banyaknya anak yang putus sekolah,
walaupun biaya sekolah gretis tetapi masih banyak kebutuhan lainnya, yang
demikian itu membutuhkan biaya. Apalgi jika ada guru yang menambah jam
pelajaran di luar jam formal misalnya: les, kursus-kursus, pelatihan-pelatihan dan
sebagainya.
Permasalahan pendidikan di
negara kita ini sudah menjadi PR bagi pemerintahan saat ini bgaimana caranya
untuk memeperbaiki kondisi pendidikan kita sekarang, dalam beberapa
penelitian-penelitan yang dilakukan oleh para ahli pendidikan, Indonesia
merupakan negara yang memiliki kualitas pendidikan yang masih jauh dari standar
sebua pendidikan.